Peran Mikrobiota Usus dalam Kesehatan Mental
Mikrobiota usus, komunitas mikroorganisme yang hidup di saluran pencernaan manusia, telah menjadi fokus penelitian yang semakin berkembang dalam hubungannya dengan kesehatan mental. Seiring dengan kemajuan penelitian, para ilmuwan telah menemukan bukti kuat bahwa mikrobiota usus memainkan peran penting dalam regulasi kesehatan mental dan perkembangan gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi. Dalam artikel ini, kami akan menggali temuan-temuan terkini yang dikemukakan oleh penelitian ilmiah dan membahas dampak mikrobiota usus pada kesehatan mental.
Studi yang dilakukan oleh Dinan, Stanton, dan Cryan (2013) mengungkapkan konsep "psikobiotik," yang merujuk pada mikroorganisme hidup yang dapat menghasilkan efek kesehatan mental yang menguntungkan jika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup. Mereka menyimpulkan bahwa psikobiotik memiliki potensi sebagai terapi baru untuk kondisi seperti kecemasan dan depresi. Foster dan Neufeld (2013) juga menyoroti sumbangan penting mikrobiota usus terhadap regulasi sistem saraf pusat, termasuk pengaruhnya terhadap mekanisme kecemasan dan depresi. Mereka mengusulkan adanya hubungan antara mikrobiota usus dan fungsi saraf pusat melalui sumbu saluran pencernaan-otak.
Dalam sebuah tinjauan literatur oleh Slyepchenko, Carvalho, Cha, Kasper, dan McIntyre (2014), penulis membahas potensi penggunaan probiotik sebagai target terapi baru untuk gangguan kecemasan dan depresi. Mereka mengemukakan bahwa probiotik dapat mempengaruhi jalur neurokimia dan perilaku terkait dengan gangguan tersebut. Sarkar dan Harty (2018) menyajikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana mikrobiota usus dapat mempengaruhi neurokimia dan perilaku pada manusia dan hewan. Mereka menyoroti pentingnya memahami dampak mikrobiota usus terhadap gangguan psikiatri dan neurologis.
Studi yang dilakukan oleh Kelly dan rekan-rekannya (2016) memberikan wawasan lebih lanjut tentang keterkaitan antara mikrobiota usus dan gangguan kejiwaan. Dalam penelitian pada tikus, mereka menemukan bahwa pindahnya mikrobiota yang terkait dengan depresi ke tikus yang sehat menyebabkan perubahan perilaku dan suasana hati yang serupa dengan gejala depresi. Temuan ini menunjukkan bahwa komposisi mikrobiota usus dapat secara langsung mempengaruhi kesehatan mental.
Secara keseluruhan, penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas menunjukkan adanya koneksi yang kuat antara mikrobiota usus dan kesehatan mental. Mikrobiota usus dapat mempengaruhi neurokimia dan perilaku melalui berbagai mekanisme, termasuk sumbangan saluran pencernaan-otak dan pengaruh mikroorganisme hidup yang menguntungkan. Penemuan-penemuan ini memberikan pemahaman baru tentang pentingnya menjaga keseimbangan mikrobiota usus yang sehat untuk mendukung kesehatan mental yang optimal. Dalam waktu yang akan datang, penelitian lebih lanjut di bidang ini diharapkan dapat mengarah pada pengembangan terapi psikobiotik yang inovatif dan efektif untuk gangguan kejiwaan.
Selain temuan yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa mekanisme yang diusulkan sebagai penjelasan mengenai bagaimana mikrobiota usus mempengaruhi kesehatan mental.
Salah satu mekanisme yang dianggap penting adalah produksi neurotransmiter. Mikrobiota usus memiliki kemampuan untuk memproduksi sejumlah neurotransmiter, termasuk serotonin, gamma-aminobutyric acid (GABA), dan dopamin. Neurotransmiter ini berperan dalam regulasi suasana hati, kecemasan, dan fungsi kognitif. Gangguan dalam produksi neurotransmiter ini dapat berkontribusi pada perkembangan gangguan kejiwaan. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan mikrobiota usus dapat berpotensi mempengaruhi kesehatan mental melalui regulasi produksi neurotransmiter.
Selain itu, sistem kekebalan tubuh juga terlibat dalam interaksi antara mikrobiota usus dan kesehatan mental. Mikrobiota usus berperan dalam mengatur respons imun di saluran pencernaan, dan penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara peradangan kronis dan gangguan kejiwaan. Ketidakseimbangan mikrobiota usus dapat menyebabkan peradangan sistemik yang berpotensi mempengaruhi keseimbangan kimia dalam otak dan berkontribusi pada perkembangan gangguan kejiwaan.
Selain itu, mikrobiota usus juga dapat berinteraksi dengan sumbu stres, yang terdiri dari hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Mikroorganisme dalam usus dapat mempengaruhi aktivitas sumbu HPA dan mengatur respons terhadap stres. Dysregulasi sumbu HPA telah dikaitkan dengan gangguan kejiwaan seperti kecemasan dan depresi. Dengan memengaruhi respons stres, mikrobiota usus dapat memiliki efek langsung pada kesehatan mental.
Penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk memahami secara mendalam mekanisme-mekanisme ini dan bagaimana interaksi antara mikrobiota usus dan kesehatan mental dapat diperbaiki melalui intervensi seperti penggunaan psikobiotik atau modifikasi pola makan. Namun, temuan-temuan ini menunjukkan pentingnya menjaga kesehatan mikrobiota usus melalui pola makan yang seimbang, konsumsi serat yang cukup, dan pemberian probiotik sebagai pendekatan yang potensial dalam menjaga kesehatan mental.
Referensi :
Dinan, T. G., Stanton, C., & Cryan, J. F. (2013). Psychobiotics: A novel class of psychotropic. Biological Psychiatry, 74(10), 720-726.
Foster, J. A., & Neufeld, K. A. (2013). Gut–brain axis: how the microbiome influences anxiety and depression. Trends in Neurosciences, 36(5), 305-312.
Slyepchenko, A., Carvalho, A. F., Cha, D. S., Kasper, S., & McIntyre, R. S. (2014). Gut emotions—mechanisms of action of probiotics as novel therapeutic targets for depression and anxiety disorders. CNS & Neurological Disorders-Drug Targets (Formerly Current Drug Targets-CNS & Neurological Disorders), 13(10), 1770-1786.
Sarkar, A., & Harty, S. (2018). The impact of gut microbiota on the neurochemistry and behavior of humans and animals: Understanding psychiatric and neurological disorders. Metabolites, 8(3), 42.
Kelly, J. R., Borre, Y., O'Brien, C., Patterson, E., El Aidy, S., Deane, J., ... & Clarke, G. (2016). Transferring the blues: Depression-associated gut microbiota induces neurobehavioural changes in the rat. Journal of Psychiatric Research, 82, 109-118.
Komentar
Posting Komentar