Langsung ke konten utama

Unggulan

Masa Dewasa Madya dalam Perspektif Biologis dan Psikologis

Pendahuluan Usia 40 hingga 60 tahun sering disebut sebagai masa dewasa madya (middle adulthood), fase kehidupan yang unik karena mempertemukan stabilitas hidup dengan tanda-tanda awal penuaan . Di usia ini, manusia telah mencapai puncak pengalaman dan tanggung jawab, baik secara profesional, sosial, maupun keluarga. Namun bersamaan dengan itu, mulai terjadi berbagai perubahan biologis yang menandai pergeseran fungsi tubuh. Artikel ini akan mengulas perkembangan pada usia 40–60 tahun dengan fokus pada: Aspek biologis : perubahan fisik, hormonal, dan sistem tubuh. Aspek psikologis : perubahan struktur makna diri dan identitas. I. Aspek Biologis: Tubuh yang Mulai Melambat Menurut Human Development oleh Ted Zerucha , masa dewasa madya adalah titik balik dari masa kematangan menuju penurunan fisiologis secara perlahan. Tubuh tidak lagi sekuat dua dekade sebelumnya, dan berbagai sistem mulai mengalami penurunan fungsi. 1. Perubahan Sistem Hormon Pada perempuan , terjadi ...

Perjuangan dalam Mempertahankan Keanekaragaman Hayati: Kekurangan Pendanaan di Kawasan Lindung ; kajian jurnal Frontiers in Ecology and the Environment

    Studi baru yang diterbitkan di Frontiers in Ecology and the Environment mengungkapkan bahwa hanya 22% dari kawasan lindung di seluruh dunia yang memiliki sumber daya yang memadai - baik dalam hal staf maupun anggaran - untuk menjamin konservasi keanekaragaman hayati yang efektif. Kurangnya sumber daya dilaporkan mempengaruhi antara 56% dan 88% lingkungan yang dilindungi yang berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies seperti burung, amfibi, dan mamalia. Kawasan lindung yang tidak cukup terkait dengan ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati yang menurun dengan cepat di seluruh dunia. Meskipun ekspansi kawasan lindung di seluruh dunia penting, untuk menjaga penurunan keanekaragaman hayati yang saat ini terjadi, perlu ada perubahan fokus dari kuantitas ke kualitas serta peningkatan sumber daya yang signifikan. Studi mengutip pentingnya kawasan lindung dalam upaya melindungi ekosistem yang rentan dan mencegah terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Kawasan lindung yang memadai sangat penting untuk menjaga konservasi keanekaragaman hayati di lingkungan darat dan laut.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian oleh Coad et al. (2019)

    Metodologi yang dilakukan dalam penelitian oleh Coad et al. (2019) adalah analisis terhadap laporan manajemen dari 2.167 area yang dilindungi (PA) yang bertanggung jawab terhadap 23% dari total luas wilayah PA di dunia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Database on Protected Area Management Effectiveness (GD-PAME; Coad et al. 2015), yang merupakan repositori resmi data keefektifan pengelolaan wilayah PA yang disepakati oleh negara-negara penandatangan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Evaluasi ini dilakukan oleh staf wilayah PA dan orang lain yang terlibat dalam pengelolaannya, dan mencakup berbagai elemen pengelolaan, termasuk perencanaan, input, proses, output, dan hasil. Namun, ada risiko interpretasi subjektif tingkat penilaian oleh pengelola dan stakeholder.

Temuan Utama

    Penelitian yang dilakukan oleh Coad et al. (2019) menemukan bahwa hanya 22% dari area yang dilindungi di dunia yang memiliki sumber daya yang memadai untuk memastikan konservasi keanekaragaman hayati yang efektif. Hal ini disebabkan banyaknya area yang dilindungi yang masih kekurangan sumber daya baik dari segi sumber daya manusia maupun anggaran untuk melindungi keanekaragaman hayati yang mereka tuju. Kurangnya sumber daya yang memadai dilaporkan mempengaruhi antara 56% hingga 88% dari lingkungan dilindungi yang berfungsi sebagai habitat bagi beberapa spesies seperti burung, amfibi, dan mamalia. Area yang dilindungi dengan sumber daya yang tidak mencukupi merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati yang cepat menurun di dunia. Temuan ini menunjukkan bahwa untuk mencapai Target 11 Rencana Strategis untuk Keanekaragaman Hayati (2011-2020), diperlukan pergeseran penekanan dari kuantitas ke kualitas serta peningkatan sumber daya yang signifikan.

    Temuan yang dihasilkan pada studi yang baru dipublikasikan mengenai resourcing pada protected area (PA) di seluruh dunia menunjukkan bahwa hanya 22% dari seluruh area yang dilindungi memiliki sumber daya yang memadai untuk memastikan terjadinya konservasi keanekaragaman hayati yang efektif. Hal ini berarti banyak PA yang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melindungi keanekaragaman hayati yang mereka tuju untuk dilestarikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa untuk mencapai Target 11 Rancangan Strategis untuk Keanekaragaman Hayati (2011-2020) dalam hal perlindungan keanekaragaman hayati, diperlukan pergeseran fokus dari kuantitas menjadi kualitas dan peningkatan sumber daya yang signifikan. Dalam konteks tersebut, studi ini menyarankan agar langkah-langkah perlu dilakukan untuk mencapai Target 11, termasuk mengembangkan metrik yang tegas untuk efektivitas pengelolaan PAs dan memastikan bahwa cadangan sumber daya dari pemerintah diarahkan untuk melindungi kekayaan alam yang tersisa.

Kesimpulan 

Studi yang dipublikasikan dalam Frontiers in Ecology and the Environment mengungkapkan bahwa kurangnya pendanaan di kawasan lindung di seluruh dunia menjadi hambatan dalam upaya mempertahankan keanekaragaman hayati. Hanya 22% dari kawasan lindung yang memiliki sumber daya memadai, dan kekurangan tersebut mempengaruhi habitat penting bagi berbagai spesies. Perlu ada perubahan fokus dari kuantitas ke kualitas, serta peningkatan sumber daya yang signifikan untuk melindungi keanekaragaman hayati.

Harap diperhatikan bahwa rincian spesifik yang disajikan dalam sumber ini akan bervariasi dan memerlukan akses langsung ke sumber tersebut untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang konten yang dijelaskan.

Sumber :

Coad, L., Watson, J. E., Geldmann, J., Burgess, N. D., Leverington, F., Hockings, M., ... & Di Marco, M. (2019). Widespread shortfalls in protected area resourcing undermine efforts to conserve biodiversity. Frontiers in Ecology and the Environment17(5), 259-264.

Komentar

Postingan Populer